Jumat, 29 Juli 2011

Apakah Kita Sekuat Jepang?

Peristiwa alam, gempa dan tsunami, di Jepang terancam menjadi bencana kemanusiaan ketika beberapa reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima meledak.
Bayangan kengerian akan radiasi nuklir menggandakan kepanikan serta mulai mengganggu stabilitas mental dan intelektual masyarakat Jepang.
Laporan mutakhir Kompas (Senin, 21/3/2011) melukiskan hebat dan kuatnya karakter dan jati diri bangsa Jepang saat mengalami bencana beruntun itu. Dalam kelangkaan semua sumber daya, mereka tanpa mengeluh antre berjam-jam sepanjang 5 kilometer. Beberapa kisah juga mengabarkan bagaimana kesulitan yang dahsyat tidak melunturkan hasrat orang Jepang menolong orang lain.
Kekuatan bangsa seperti ini, ditambah sistem yang cepat tanggap dan akurat, membuat bangsa-bangsa lain memberi tabik. Bahkan PBB pun memberi apresiasi tinggi. Satu hal yang amat penting dari situasi ini adalah kepercayaan masyarakat Jepang kepada pemerintahnya, bahwa pemerintah akan bertanggung jawab menyelamatkan hidup mereka. Pemerintah menjadi acuan utama, sumber perlindungan, seperti orangtua yang penuh wibawa.
Maka, dalam dua lapis utama masyarakat, atas dan bawah, pemimpin dan rakyat, Jepang menunjukkan kepada dunia sebagai bangsa unggul. Pemerintah yang disiplin, beretos dan beretika tinggi, penuh tanggung jawab, relatif bersih dari penyimpangan, serta peduli hajat hidup rakyat membuat Jepang mungkin memiliki indeks kepercayaan publik (salah satu yang) tertinggi di dunia.
Begitu pun lapisan bawah. Menurut Profesor Yamamoto Nobuto dalam wawancara dengan Kompas, mereka berhasil membuktikan tingginya eksistensi sosial dalam diri setiap manusia Jepang. ”Komunitas menjadi basis sosial,” katanya.
Artinya, keberadaan atau eksistensi manusia bagi orang Jepang terfaktualisasi dan teraktualisasi berdasarkan referensi atau konteks pada faktualisasi dan aktualisasi orang lain, komunitasnya. ”Rasa kebersamaan kunci kebesaran bangsa ini,” ujar Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, ilmuwan Indonesia di Universitas Chiba. Bagaimana dengan kita?
Kita tidak kalah
Sebenarnya semua ciri dasar ”karakter kuat” bangsa Jepang juga kita miliki. Bahkan potensi kita mungkin lebih besar. Bukankah kita bisa antre hingga berhari-hari dan berpekan—dengan panjang antrean hingga 30 km—seperti yang terjadi di Pelabuhan Merak?
Kita melakukan semua dengan sabar. Kalaupun ada keluhan, kadang itu disampaikan dengan humor hitam. Bila keadaan akibat negara (cq pemerintah) tak menjalankan kewajiban itu terjadi di Eropa, Amerika, bahkan Jepang, tentu sudah berlangsung protes keras dan demonstrasi.
Begitu pun soal tolong-menolong sesama korban ataupun warga. Saya kira cerita semacam ini sudah menjadi kisah harian di negeri kita.
Soal solidaritas, kebersamaan, dan aktualisasi diri dalam konteks sosial? Sesungguhnya semua itu merupakan watak dasar dari kita, bangsa Indonesia. Kenapa hal itu terasa luntur atau katakanlah dipilin dan dimanipulasi menjadi solidaritas yang destruktif, seperti korupsi, kebohongan, kemunafikan, dan kekerasan fisik, itu dapat dibahas di tempat lain.
Dalam konteks tulisan ini, kita bisa membuktikan bagaimana manusia Indonesia pada dasarnya lebih sebagai homo socius ketimbang homo individualis. Kita merasa belum menjadi ”diri”, menjadi ”manusia” atau dadi wong kata orang Jawa, jika belum merasa berbuat untuk (kepentingan) orang lain/banyak. Pada momen itu kita merasa sebagian dari diri (jiwa dan pikiran) kita hampa, kosong.
Maka, lihatlah betapa banyak dari kita mencari momen itu dan mengisinya dengan pelbagai tindak sosial. Tak peduli ia agamawan, orang terpelajar, koruptor, atau penjahat sekalipun. Ada yang datang langsung ke daerah korban, ke tempat fakir, dan masuk ke ruang-ruang spiritual (yang sebagian ditawarkan seperti jasa spa atau tempat hiburan), dan seterusnya.
Tidak seperti dinyatakan Profesor Nobuto, semua berakar dalam kebudayaan asli dan dalam spiritualitas asli rakyat, bukan sekadar hasil pendidikan, seperti di Jepang yang datang dari masa Restorasi Meiji. Pendidikan adalah stimulus kuat, tetapi kebudayaanlah yang memberi fondasi. Akar kebudayaan kitalah yang membuat modus eksistensial kita berproses melalui konteks dan acuan sosialnya.
Selimut posmodern
Belakangan ini kita sama-sama mengeluh, bagaimana semua realitas diri yang sesungguhnya itu seperti hilang. Lalu, kita melihat Jepang yang begitu modern, tetapi tetap pada kekuatan etos dan etika tradisionalnya.
Namun, benarkah demikian Jepang saat ini? Dalam laporan pada hari yang sama, dengan opini dari profesor yang sama, Nobuto, Kompas melaporkan bahwa rakyat Jepang mulai kehilangan kepercayaan kepada pemerintah soal penanganan ancaman bencana nuklir.
Artinya, dalam waktu tidak lebih dari sebulan, gejala ketidakpercayaan kepada pemerintah—yang juga kita alami saat ini—sudah terlihat di negeri semakmur Jepang. Untuk ketidakpercayaan semacam itu, rakyat Indonesia membutuhkan waktu hampir setengah abad dan berganti lima presiden. Pukulan keras yang menghantam karakter kultural kuat bangsa kita datang bertubi, tidak hanya dari alam, tetapi juga dari sepatu dan peluru militer, dari politik yang selfish dan koruptif, dari pengusaha gergasi yang melihat manusia sebagai lembaran dollar saja, dari cara hidup yang artifisial dan virtual, dari gempuran kepentingan asing.
Saya kira, tanpa harus mengalami sejarah seperti rakyat Indonesia, Jepang—juga negara-negara ”hebat” Eropa dan Amerika—akan mendapatkan rakyat yang keras, ganas, culas, dan seterusnya. Karakter—pada momen itu—hanya tersisa dalam catatan historis dan biografis.
Hal yang menarik dari krisis kepercayaan orang Jepang, antara lain, hanya didasarkan pada informasi dari luar, tentang rentang aman radiasi nuklir. Amerika Serikat menyatakan 80 km, otoritas Jepang 30 km. Pemerintah AS dan sekutunya segera mengevakuasi warga di rentang 80 km, bahkan menutup kantor kedutaan di Tokyo yang berjarak 200 km.
Hanya dengan kerancuan informasi itu ”karakter kuat” orang Jepang goyah. Bagaimana membayangkan diri Anda, sebagai orang Indonesia, yang berdekade mengalami kerancuan semua standar dan ukuran, kehilangan etos dan etika? Akan tetapi, hingga hari ini, kesabaran itu, solidaritas itu, humor hitam itu, kesatuan bangsa itu, masih tetap bertahan. Tidakkah kita begitu kuat?
Mungkin belum banyak kita menyadarinya. Sangat sedikit yang dapat mengeksplorasi dan memanfaatkannya. Zaman posmodern ini telah memberi kita selimut hangat, yang tidak hanya menutupi rasa dingin dan cemas kita secara palsu, tetapi juga secara langsung menutupi (baca: menyembunyikan) realitas diri dan kekuatan kita yang sebenarnya itu. Lanjut membaca “Apakah Kita Sekuat Jepang?”  »»

Selasa, 24 Mei 2011

Semestinya Bersatu Bukan Berpecah, Mungkinkah ?


Semestinya Bersatu Bukan Berpecah, Mungkinkah ?

Hadis yang telah berbicara tentang Perpecahan Umat rasanya perlu adanya koreksi ulang, bukan dari segi keabsahannya sebagai hadis, karena ini bukan bidang penulis, akan tetapi, dari segi pemahamannya, agar hadis tersebut tidak lagi menjadi tangga yang digunakan kelompok tertentu untuk sebuah kepentingan tertentu atau untuk menghakimi kelompok lain yang tidak sepemikiran, apalagi kalau untuk menghujatnya serta mengkafirkannya.
Lanjut membaca “Semestinya Bersatu Bukan Berpecah, Mungkinkah ?”  »»

Jumat, 04 Desember 2009

Acara silaturrahmi IASS Mesir 30.11.2009

Acara silaturrahmi IASS Mesir 30.11.2009

Dua pekan sebelum hari raya ‘Idul Adlha yang jatuh pada tanggal 27 November 2009, tiga alumni Pondok Pesantren Sidogiri yang dua diantara mereka merupakan mahasiswa baru yang diberangkatkan ke Mesir pada akhir Desember 2008 dan satu lagi diberangkatkan setahun sebelum mereka, merembukkan pengorganisiran teman-teman alumni yang sedang menempuh belajar di Mesir, ketiga personel ini adalah Shonhaji Dumairi mahasiswa tingkat 1 fakultas Ushuluddin qism al-Tafsîr, Muhammad Faishal mahasiswa tingkat 2 fakultas Syarî’ât al-islamiyah dan Nidomuddin el-Farizy siswa tingkat 1 Ma’had al-Tsanawiyah.

Setelah melalui banyak pertimbangan akhirnya mereka memutuskan untuk mengadakan acara silaturrahmi alumni dengan beberapa tujuan yaitu:

• Agar silaturrahmi antara sesama alumni tetap terjalin kuat demi mendukung kerja sama untuk kemajuan intelektualitas dan akademisi seorang santri dan saling mengenal satu sama lain
• Agar emosional ke-Sidogirian tetap dan bertambah kuat dalam diri masing-masing alumni yang sedang menempuh perjuangan menuntut ilmu di Negeri Kinanah ini
• Untuk merancang dan menyusun rencana kedepan demi kepentingan bersama
• Sosialisasi kegiatan yang setidaknya telah terlaksana sebelumnya berupa Forum Kajian Ushûl fiqh (FOKUS) dan mengupayakan agar terus berjalan disamping mempersiapkan kegiatan-kegiatan berfaidah yang lain
• Merealisasikan Firman Allah: Wa tawâshaw bi al-Haqq wa tawâshaw bi al-Shabr mengingat petuah yang selalu didengungkan oleh para guru dan masyayikh Sidogiri kepada seluruh santri sejak berdirinya dua setengah abad yang silam, yaitu: mencetak peribadi santri yang bertaqwa kepada Allah SWT dan menjadi Ibadillahi al-Shalihîn.

Akhirnya setelah diadakan musyawarah dan atas rekomendasi dari penasehat yang sekaligus menjabat sebagai donatur IASS Mesir Ust. Bahrullah Anshori, pimpinan panitia acara Ust. Shanhaji Dumairi bersama panitia yang lain menganggap baik jika acara tersebut dilaksanakan pada waktu yang sedapat mungkin tidak memberatkan bagi anggota, maka setelah menimbang baik-baik digelarlah acara tersebut pada tanggal 30 November 2009/ 12 Dzulhijjah 1430, bertempat di Taman Internasional Egypt (Hadîqah daulîyah el-Meshrîyah), acara tersebut dihadiri oleh Sembilan orang yang satu diantara mereka adalah tamu undangan yang didatangkan dari Almamater Ponpes. Gontor.

Acara berjalan dengan lancar meski terkadang ada sedikit gangguan dari penduduk asli Mesir yang umumnya menghabiskan waktu mereka ditempat itu untuk bermain dan mengisi liburan selama hari-hari Tasyrîq, namun begitu kawan-kawan alumni tetap antusias dan menyimak baik-baik disamping berjalannya acara.

Dengan sangat khidmat sambil menikmati camelan yang tersedia, kawan-kawan alumni mendengarkan pidato bapak penasehat yang sangat menghimbau kepada para alumni untuk selalu bergandengan tangan agar kesatuan alumni PPS yang ada di Negeri seribu menara ini tidak terpecah demi memperkuat Ukhuwah Islamiyah, beliau juga menceritakan bagaimana perjuangan beliau bersama rekan-rekan alumni yang terdiri dari empat orang untuk mendapatkan formalitas ijazah Sidogiri-Azhar “kelihatan remeh tapi sebenarnya tak seremeh yang dilihat” ucap beliau menyimpulkan.

Suasana khidmat kemudian berlanjut saat Ust. Zakariya Mukhtar L.C. mengisi acara dengan taushiyah yang merupakan kesimpulan dari taushiyah Majelis Keluarga Pondok Pesantren Sidogiri yang diuploud oleh kawan santri Sidogiri di Indonesia via net, atas nama Pengasuh PPS Syaikh Nawawi Abd. Jalil, dalam taushiyah tersebut Pengasuh PPS menghimbau kepada seluruh santri, alumni dan simpatisan Pondok Pesantren Sidogiri agar berhati-hati dan tidak mudah terpengaruh dengan aliran-aliran baru yang akhir-akhir ini makin marak dan tersebar dimana-mana, dan agar tetap berpegang teguh pada Ahlussunnah WalJamaah mengetahui golongan ini adalah satu-satunya golongan yang akan selamat diakhirat kelak sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang meyatakan bahwa umat islam akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan, satu golongan yang dimaksud dalam Hadits Rasulullah tersebut adalah Ahlussunnah Waljamaah.

Acara dimulai pada jam 15.30 CLT mundur satu setengah jam dari rencana awal karena kendala keterlambatan sebagian anggota, namun hal tersebut tidak terlalu dipersoalkan mengingat anggota IASS Mesir masih 10 orang.

Setelah ramah-tamah dan acara perkenalan antar sesama anggota, akhirnya acara selesai pada jam 17.00 CLT bertepatan dengan adzan Maghrib yang berkumandang layaknya panggilan untuk seluruh penduduk alam dari beribu-ribu menara yang mengelilingi mereka, agar segera menghadap dan beribadah kembali kepada Allah Azza wa Jalla.



Cairo 02 Desember 2009
15 Dzulhijjah 1430


Nidomuddin




Lanjut membaca “Acara silaturrahmi IASS Mesir 30.11.2009”  »»

Rabu, 02 Desember 2009

BELAJAR EFEKTIF ALA ULAMA SALAF

Belajar Efektif Ala Ulama Salaf

Bila kita hendak belajar, maka pertama kali langkah kita adalah memilih fan yang mau kita pelajari, misalnya Fiqh atau Ilmu Kalam, setelah itu kita mendefinisikannya, Fiqh adalah mengetahui hukum syara’ dari dalil tafsil, Ilmu kalam adalah ilmu yang membahas tentang penetapan akidah agama yang diambil dari dalil yang Qath’î dan lain sebagainya, tergantung fan yang mau kita pelajari. Hal ini dikarenakan Definisi adalah pembuka yang dapat menyampaikan pengetahuan lain dari pembahasan setiap fan. Definisi ini kalau dalam Ilmu Mantiq disebut Ta’rif atau Qaul Syareh.

Setelah kita mendefinisikannya kita harus mengetahui pembahasannya (maudû’), Fiqh membahas tentang pekerjaan setiap orang mukallaf, Ilmu Kalam membahas tentang dzat Allah sifat serta pekerjaan-Nya. Hal ini biar belajar kita lebih fokus, karena biasanya dalam setiap karangan pengarangnya sering mencantumkan hal-hal yang kurang prinsipil mulai dari pengantar kata yang berlebih-lebihan atau basa basi dan lain sebagainya yang dapat mengeluarkan kita dari tujuan awal membaca fan tersebut.

Kemudian Faidah mempelajarinya, seperti mengetahui semua sifat Allah dan Rasul-Nya, dalam Ilmu Kalam. Faidah ini bisa juga dikatakan sebagai tujuan mempelajari setiap fan, karena itu faidah tersebut bisa dibilang motivator yang dapat memotivasi kita untuk mempelajari fan tertentu.

Setiap fan punya nilai lebih bila dibanding fan yang lain dengan tiga tinjauan. Pertama Muadû’, misalnya adalah Ulumu al-Qur’an. Fan ini lebih utama dibanding fan yang lain seperti Fiqh, karena fan ini membahas al-Qur’an sementara Fiqh membahas pekerjaan orang Mukallaf, tentunya al-Quran lebih utama dari pada orang Mukallaf. Contoh lain adalah pedagang Emas dengan pedagang daging, mestinya lebih utama yang berdagang Emas dari pada yang berdagang daging. Kedua, Tujuan, yaitu al-Istimsâk bi al-Urwati al-Wutsqa, tujuan dari mempelajari Ulumu al-Qur’an. Ketiga, kebutuhan, tentunya Ulumu al-Qur’an yang menempati urutan utama, ini berdasarkan kebutuhan seseorang terhadap syariat sementara syariat membutuhkan al-Qur’an.

Selanjutnya yang perlu diketahui oleh kita adalah Nisbat, hubungan antara satu fan dengan fan yang lain. Nisbat ini dapat dapat mengantarkan kita pada pengetahuan akan keterkaitan satu fan dengan fan yang lain. yang dimaksud Nisbat di sini adalah al-Tanasub, yaitu saling keterkaitan antara satu fan dengan fan yang lain, kebalikan al-Tabayun. Maka kalau kita mau mengaitkan (nisbatkan) Ulumu al-Qur’an dengan Fiqh maka namanya Tanasub sementara bila kita mengaitkannya denga ilmu kedokteran (Ilmu al-Thib) maka namanya Tabayun, karena keterkaitannya antara dua fan tersebut sangat jauh.

Hal penting lain yang perlu diketahui kita adalah Wadhî’, pengarang setiap fan yang hendak kita pelajari, misalnya Aristotales, sebagai pengarang Ilmu Mantiq, atau Imam Syafi’ie sebagai pengarang Ushul Fiqh. Mungkin sebagai saksi urgensitas pembahasan ini adalah setiap karangan para ulama terkenal yang mana didalamnya pasti menyebutkan identitas keberadaan dirinya.
Mengetahui Pengarang (Wadhî’) ini juga sangat membantu kita untuk mengetahui alur pemikiran pengarang fan yang hendak dipelajari, sehingga nantinya kita terjaga dari setiap pemikiran kotor yang dibawa setiap pengarang, karena tak semua pengarang itu objektif dalam menulis karangannya, kadang mereka memasukkan kepentingan pribadi atau golongan yang terkadang juga harus melanggar norma penulisan bahkan agama.

Selanjutnya adalah bagaimana Syare’ menyikapi keberadaan fan tersebut dari segi hukum, karena tak semua fan itu dianggap baik untuk dipelajari, misalnya Ilmu Sihir, Syare’ mengharamkan untuk mempelajarinya, atau Ilmu Mantiq yang masih tercampur dengan sekat-sekat filsafat yang dapat merusak akidah kita.

Dan yang terakhir adalah pengambilan. Mestinya setiap pengarang dalam mengarang harus mempunyai sandaran yang bisa dibuat pertanggung jawaban akan setiap karangannya, misalnya dari al-Qur’an atau Hadis dan lain sebagainya. Pengambilan ini bisa kita kenal sekarang dengan Daftar Pustaka. Dengan mengetahuinya kita dapat merujuk sumber asli dari setiap tendensi isi karangan yang telah dibaca.

Ini adalah sebagian kecil langkah-langkah yang diberikan para ulama kepada kita, namun sangat penting untuk diperhatikan agar belajar kita nanti dapat maksimal, efektif dan efisien.

Langkah-langkah ini bisa kita jumpai dalam setiap Muqaddimah kitab-kitab turats yang kebanyakan tercantum dalam tiga bait Bahar Rajaz :

إن مبادئ كل فن عشرة * الحد والموضوع ثم الثمرة
وفضله ونسبة والواضع * والإسم الإستمداد حكم الشارع
مسائل والبعض بالبعض اكتفى * ومن درى الجميع حاز الشرفا

Sesungguhnya setiap fan itu punya dasar sebagai Muqaddimah yang penting untuk diketahui sebelum kita mempelajarinya :

1. Definisi (al-Had)
2. Pembahasan (al-Maudû’)
3. Faidah mempelajari (al-Tsamrah)
4. Keutamaannya dibanding fan yang lain (al-Fadhlu)
5. Keterkaitannya dengan fan yang lain (al-Nisbah)
6. Pengarang/peletak (al-Wadhi’)
7. Nama (al-Ism)
8. Pengambilan ( al-Istimdad)
9. Syare’ menyikapinya dari segi hukum ( Hukmu al-Syare’)
10. Masalahnya (al-Masâ’il)

Bila sepuluh dasar (mabadI’) ini sudah diketahui oleh kita maka belajar kita akan lebih maksimal (wa man dâral jamî’a hâza al-Syarafa). Selamat belajar.
Ahmad Shanhaji






Lanjut membaca “BELAJAR EFEKTIF ALA ULAMA SALAF”  »»

Kamis, 26 November 2009

Tausiyah Keluarga PPS

Tausiyah Majelis Keluarga Pondok Pesantren Sidogiri


Bapak/Ibu/Saudara/Saudari sekalian… sebagai penerima amanah perjuangan para Masyayikh Pondok Pesantren Sidogiri, kami merasa selalu dituntut untuk senantiasa melakukan tawashau bil-haq kepada masyarakat, khusus para santri, alumni, wali santri, dan simpatisan Pondok Pesantren Sidogiri, saling mengingatkan agar perjalanan hidup kita secara bersama-sama tidak terlepas dari jalur yang benar dalam meyakini, memegang dan mengamalkan ajaran-ajaran dalam agama kita. Jika kita senantiasa memegang dan menerapkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana yang diperintahkan dalam al-Qur’an dan Hadis, insya-Allah kemurnian ajaran yang kita pegang akan terjaga dengan baik untuk kita, keluarga, kerabat, masyarakat dan umat seluruhnya.

Akhir-akhir ini kehidupan beragama kita banyak mendapat tantangan dari berbagai aliran-aliran yang berkembang dan marak di tengah-tengah kita sekalian. Menyikapi hal tersebut, Majelis Keluarga Pondok Pesantren Sidogiri mengimbau kepada segenap santri, alumni, wali santri, wali murid, simpatisan dan segenap masyarakat agar memiliki perhatian besar terhadap hal ini, mengambil posisi dan sikap yang terarah dan terpikirkan dengan matang, tidak membiarkan aliran-aliran itu berkembang begitu saja dan tidak pula mereaksinya dengan cara-cara yang tidak benar.
Maka dari itu, Majelis Keluarga Pondok Pesantren Sidogiri mengimbau, khususnya kepada santri, alumni, wali santri, wali murid dan simpatisan Pondok Pesantren Sidogiri agar:

1. Semangat dan tidak putus asa membentengi ajaran Ahlusunah Waljamaah dalam diri sendiri, keluarga, famili, teman, dan masyarakat; dengan ilmu bagi yang memiliki ilmu, dengan harta bagi yang memilikinya, dengan pengaruh bagi memilikinya, dengan wewenang bagi yang memilikinya, dan lain sebagainya. Hal ini merupakan kewajiban bagi kita sekalian sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Surat at-Tahrim ayat 6:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari neraka.

Sementara itu, dalam Hadis-Hadis Rasulullah saw telah dinyatakan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan. Satu golongan yang dimaksud dalam Hadis Rasulullah tersebut adalah Ahlusunah Waljamaah.

2. Jangan mudah heran dan kagum terhadap aliran-aliran baru yang tampak luar biasa. Begitu pula dengan aliran-aliran yang aneh, memiliki kemampuan luar biasa, misalnya seperti bisa tahu isi hati kita sebelum diberi tahu, atau bisa terbang dan berjalan di atas air sekalipun. Jangan tertipu dengan keajaiban-keajaiban semacam itu, karena keajaiban tidak tentu menjadi petunjuk bagi kebenaran. Keajaiban bisa datang sebagai tipu daya setan, semisal sihir, sulap dan lain sebagainya. Jika ajaran yang mereka bawa atau amal yang mereka lakukan tidak sesuai dengan syariat, maka keajaiban apapun yang mereka miliki berarti adalah tipu daya setan. Jangan pula mudah terpukau oleh penampilan dari berbagai aliran yang berkembang saat ini, dengan tujuan-tujuan yang mereka gembar-gemborkan, atau kesan baik yang mereka tanamkan di awal. Akan tetapi, telitilah terlebih dahulu: bagaimana pahamnya secara utuh, kitab atau buku apa yang dijadikan pegangan, siapa pendirinya, siapa tokoh-tokoh yang mereka anut, siapa guru-gurunya, bagaimana sejarah aliran tersebut, dari mana berasal, dan lain sebagainya. Sebab, dalam berguru ilmu agama kita harus hati-hati dan mencari orang yang tepat, sebab jika tidak maka kita akan terjerumus ke dalam kesesatan.

3. Semangat menolak beberapa paham di negeri kita yang sangat jelas bertentangan dengan Ahlusunah Waljamaah, di antaranya: (a) paham yang mengatakan bahwa Allah itu bersemayam dalam diri kita; bahwa orang yang mencapai tingkat spiritual tertentu sudah tidak berkewajiban melakukan salat/amal dengan tubuh tapi cukup dengan hati, atau sudah tidak berkewajiban melaksanakan syariat tapi cukup dengan hakikat; (b) paham yang suka menafsirkan al-Qur’an murni dengan akal tanpa mengikuti penafsiran dari para ulama; mendahulukan akal daripada al-Qur’an, Hadis, Ijmak atau pendapat dari para ulama salaf; mengupayakan kesetaraan laki-laki dan perempuan hingga merusak pengertian nas-nas al-Qur’an dan Hadis; membela kemaksiatan dan kesesatan atas nama hak asasi manusia; (c) paham yang selalu mengagung-agungkan Sayidina Ali bin Abi Thalib ra dan mengecam Sahabat-Sahabat Rasulullah saw yang lain; menganggap bahwa kekhilafahan Abu Bakar as-Shiddiq ra, Umar bin al-Khatthab ra dan Utsman bin Affan ra tidak sah; salat dilaksanakan hanya dalam tiga waktu; menganggap bahwa al-Qur’an yang ada sekarang masih kurang; tidak mau menerima Hadis-Hadis dalam kitab al-Bukhari dan Muslim; (d) paham yang menyatakan bahwa seluruh umat Islam ini kafir kecuali kelompok mereka yang sangat kecil; (e) paham yang menyatakan masih ada nabi atau rasul setelah Nabi Muhammad saw; dan paham-paham lain yang jelas-jelas bertentangan dengan Ahlusunah Waljamaah.

4. Berupaya memberantas paham-paham tersebut juga paham-paham lain yang tidak sesuai dengan Ahlusunah, dengan cara-cara yang baik dan sebisa mungkin menjauhi tindakan-tindakan kekerasan yang dapat menimbulkan masalah yang lebih besar. Bila cara-cara lembut dan baik tidak berhasil sementara perkembangan aliran tersebut bisa menimbulkan keresahan maka sebaiknya berhubungan dengan pihak-pihak yang berwenang untuk melakukan langkah-langkah yang sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah.

5. Merawat organisasi/jamaah yang telah diwariskan oleh para ulama-ulama Ahlusunah di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama. Bila terdapat hal-hal yang mengecewakan di tubuh jamaah tersebut maka lakukanlah pembenahan dengan: (a) memperbaiki diri sendiri dan orang di sekitar kita, karena baiknya kehidupan jamaah sangat bergantung kepada orang perorangan jamaah itu sendiri; (b) memberikan saran serta sumbangan pikiran, tenaga, maupun harta kepada jamaah, bukan justru membuat kesan tidak percaya, menyatakan keluar atau melakukan penggembosan terhadap jamaah tersebut; (c) bagi yang memiliki wewenang agar berupaya menghindarkan jamaah NU dan semisalnya, dari orang-orang yang dianggap memiliki paham-paham menyimpang, atau bisa membawa jamaah menyimpang dari jalur perjuangan dan khitah yang telah digariskan.

Demikian imbauan dari Majelis Keluarga Pondok Pesantren Sidogiri. Semoga imbauan ini bermanfaat bagi kelestarian akidah Ahlusunah Waljamaah dan disambut dengan perbuatan-perbuatan nyata oleh segenap pihak di kemudian hari. Semoga ajaran dan paham Ahlusunah senantiasa tegak di muka bumi, khususnya di negeri kita tercinta ini. Semoga Allah melindungi kita, keluarga kita, kerabat kita, dan segenap masyarakat dari aliran dan ajaran-ajaran yang sesat. Semoga Allah memberikan taufik dan maunahnya kepada kita untuk mengetahui kebenaran dan mengikutinya.

اللَّهُمَّ اَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اِتِّبَاعَهُ وَاَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ



Pasuruan, 17 Ramadan 1430 H

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Majelis Keluarga

Pondok Pesantren Sidogiri


KH. A. Nawawi Abd. Djalil / d. Nawawy Sadoellah

Rois dan Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri / Katib






Lanjut membaca “Tausiyah Keluarga PPS”  »»

Rabu, 25 November 2009

PERAN ABI HANAFAH DALAM TEOLOGI AL-MATURIDY

PERAN ABI HANAFAH DALAM TEOLOGI AL-MATURIDY

Al-Maturidiyah adalah salah satu sekte islam yang didirikan oleh Muhammad Bin Muhammad Bin Mahmud yang masyhur dengan panggilan Abu Manshur al-Maturidi. Dinisbatkan pada tempat kelahirannya Maturid, sebuah kawasan di Samarkand. Sekte ini ditengarai sebagai kelompok mayoritas, karena jumlahnya lebih banyak dibanding komunitas sekte lain. Abu Mu’in al-Nasafy menyebutkan bahwa mahzhab al-Maturidi membentang sepanjang Bukhara sampai ke Turki, beliau juga menyebutkan, bahwa mahzab al-Maturidi banyak digandrungi oleh para sufi. Bahkan salah satu ulama’ kontemporer, Ahmad Abduh, membangun pemikiran barunya berdasarkan mahdzab al-Maturidi. Mark Donal mengatakan: “Seorang alim (M. Abduh) yang mengaku sebagai pengikut Asy’ariyah itu, sebenarnya bermahzab Maturidiyah”. Perkataan Mark Donal tersebut diamini oleh para ulama’ Mesir setelah mereka membandingkan antara pendapat Muhammad Abduh dan al-Maturidi tersebut.
Sekte ini juga disebut sekte Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, karena pemikirannya yang moderat dan lebih mendekati manhaj ulama’ Salaf. Oleh karena itu bila kata Ahlu Sunnah Wal Jama’ah disebut, maka yang dimaksud adalah Asy’ariyah atau al-Maturidiyah.

Profil Pendiri Madzhab Al-Maturidy
Beliau adalah Muhammad Bin Muhammad Bin Mahmud yang terkenal dengan sebutan Abu Manshur al-Maturidi. Beliau lahir di Maturid, salah satu daerah Samarkand-Iran. Adapun mengenai tanggal atau tahun kelahiran beliau, belum ada kejelasan dari pakar sejarah. Tapi tampaknya tokoh ini lahir sekitar pertengahan abad ke tiga, semasa dengan Abu Hasan al-Asy’ari, dimana sekte Mu’tazilah saat itu sedang mendapat perlakuan tidak baik dari masyarakat setempat sebagai balasan ketidak sewenang-wenangan mereka terhadap para ulama’ hadis dan fikih dimasa sebelumnya.

Beliau memperdalam ilmu fiqih imam Hanafi dan Ilmu kalam pada imam Nashiruddin Bin Yahya al-Balkhy yang wafat pada tahun 268 H. Sementara al-Maturidi sendiri wafat pada tahun 333.
Beliau dilahirkan di lingkungan akademisi yang semarak dengan aktivitas-aktivitas keilmuan, seperti perdebatan seputar Fiqih dan Usul Fiqih yang sedang hangat antara Mahzab Syafi’ie versus mahzab Hanafi. Disana juga terdapat perdebatan seputar Ilmu Kalam, akibat ketegangan yang terjadi antara pakar-pakar Fiqih-Hadist dan Mu’tazilah. Bahkan diceritakan bahwa kemajuan daerah itu bukan karena ekonomi atau kekuatan militernya tetapi karena prestasi keilmuannya, yang diprakarsai oleh para pemikir-pemikir ulung, termasuk beliau sendiri. Konon diceritakan bahwa beliau sering menghadiri perdebatan di Bashrah seputar ilmu kalam, bahkan diceritakan sampai sebanyak dua puluh kali. Dalam Fiqih, beliau bermahzab Hanafi yang kemudian kelak banyak mempengaruhi alur pemikirannya, terutama dalam disiplin ilmu kalam.

Alur Pemikiran Abi Manshur al-Maturidy
Islam telah memasuki negeri Khurasan dan Persia dan menguasai semua kawasan Iraq. Beberapa pembesar negeri seribu satu malam tersebut banyak yang tertangkap, dan kemudian dijadikan budak. Di antara mereka ada yang bernama Zuthai, yang berasal dari Persia kemudian beliau dimerdekakan dan mendapat hidayah untuk memeluk Agama Islam. Beliau pernah bertemu dengan Imam Ali RA, bahkan berkumpul cukup lama dengan Imam Ali. Di antara keduanya terdapat ikatan persaudaraan yang kuat, terbukti dengan hadiah yang pernah diberikan Imam Ali pada beliau. Zuthai kemudian mempunyai seorang anak bernama Tsabit, anaknya tersebut juga dekat dengan Imam Ali sama seperti ayahnya, bahkan Imam Ali pernah mendoakan Tsabit agar semua keturunannya mendapat berkah dari Allah. Maka lahirlah Nu’man putra Tsabit.

Nu’man adalah orang Faqih di masanya, sampai beliau mendapat gelar dari para ulama’ di masanya sebagai “Faqihul Islam”. Imam Syafi’ie berkata “Semua manusia dalam Fiqh berhutang budi pada Imam Abi Hanifah”. Beliau lebih terkenal dengan Abi Hanifah, sebagai Alam Kuniyah (nama panggilan) beliau. Beliau dilahirkan tahun 80 H dan meninggal tahun 150 H, tepat dengan tahun kelahiran Imam Syafi’ie. Irak, tempat di mana beliau dilahirkan merupakan pusat peradaban semua agama. Di sana juga menjamur sekte-sekte islam, seperti Khawarij, Syi’ah dll. Kota ini sempat disinggahi beberapa sahabat, semisal Imam Ali, Abdullah Bin Mas’ud, meski Imam Abu Hanifah sendiri tidak menututi mereka, tapi beliau sempat bertemu Imam Sufyan al-Tsauri. Oleh karena itu banyak kalangan yang menduga bahwa beliau termasuk Tabi’in.

Mengenai Ilmu Kalam, dalam Islam sendiri terpecah menjadi dua kelompok besar: ada yang sangat antusias dan mendukung, ada pula yang sangat membenci bahkan antipati, karena diasumsikan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Bahkan Abi Hanifah sendiri sempat bersikap mendua pada Ilmu Kalam. Pertama: Diawal-awal menuntut ilmu, beliau mempelajari ilmu kalam, hingga mahir membidanginya. Beliau juga banyak berdialog dengan sekte-sekte islam yang tersebar di masanya, seperti Khawarij Mu’tazilah dan Syi’ah. Beliau pernah berkata: “Semoga Allah membunuh Shafwan Bin Jahm yang telah menafikan sifat Allah, dan membalas Muqatil Bin Sulaiman karena menetapkan sifat Allah, sampai pada batas tajsim”. Perkataan ini menjadi bukti akan besarnya minat beliau pada ilmu kalam. Kedua: Beliau sangat menentang kajian Ilmu kalam, bahkan sampai melarang pengikutnya untuk mempelajari ilmu Kalam. Seperti terekam jelas dalam ungkapannya:
“Aku (sempat) menganggap Ilmu Kalam sebagai ilmu yang paling utama, kemudian aku berfikir dan merenung, dan aku berkata bahwa orang-orang dahulu dari para Sahabat dan Tabi’in lebih tahu dan paham dari pada aku, tapi mereka tidak bertentangan juga tidak berdebat, bahkan tidak mau berbaur dengan debator, mereka hanya menyibukkan diri dengan belajar dan mengajar. Setelah aku tahu ihwal mereka, maka aku katakan bahwa aku akan meninggalkan perdebatan dan kembali mengikuti mereka, ulama’ salaf, mengikuti semua tuntunannya. Dan sekarang aku berpandangan bahwa orang yang berdebat seputar ilmu kalam bukan termasuk dari bagian orang-orang terdahulu dan tidak mengikuti thariqah (metode) ulama’ dahulu. Aku melihat hati para ahli debat itu keras, tidak perduli apakah mereka telah menyalahi al-Qur’an, Sunnah, dan tidak termasuk orang yang takwa”.

Ada banyak risalah-risalah kecil yang telah dinisbatkan para ulama’ sebagai karangan Abi Hanifah dalam maudu’ (yang bertemakan) Ilmu Kalam, seperti Fiqhul Absath, Fiqhul Akbar Al-Alim Wal Muta’allim dan Risalah beliau pada al-Batta. Imam Ibnu Nadzim memastikan bahwa ada empat kitab yang disepakati sebagai karangan Abi Hanifah: Fiqhul Akbar, Al-Alim Wal Muta’allim, Risalah beliau pada Al-Batta dan Al-Raddu ala al-Qadariyah.

Al-Fiqhul Akbar & Absath
Kitab ini sangat diminati kalangan akademisi setelah beliau, kitab ini juga diriwayatkan banyak orang: diantaranya adalah Hammad anak Abi Hanafah sendiri, dan sempat disyarahi oleh Ali al-Qary. Kitab ini juga diriwayatkan oleh Abi Muthi’ al-Balkhy yang terkenal dengan Fiqhul Absath, kemudian disyarahi oleh Abu al-Laits al-Samarqandy. Syarah-syarah kitab Fiqhhul Absath ini ada yang dinisbatakan pada beliau Abi Hanifah, tapi tidak dibenarkan. Terkait dengan penisbatan kitab ini pada Abi hanifah Abu Zahrah berkata: “Fiqhul Akbar ini perlu diteliti ulang bila mau dinisbatakan pada Abi Hanifah”. Bahkan orang yang sangat fanatik sekalipun menyangsikan apakah kitab diatas termasuk karya beliau.

Risalah-risalah di atas walaupun ada sebagian yang masih disangsikan penisbatannya pada Abi Hanifah setidaknya menjadi bukti bahwa beliau pernah sibuk mempelajari Ilmu Kalam. Dan ternyata risalah-risalah ini telah banyak mempengaruhi pemikiran Abi Manshur al-Maturidy, bahkan sebagian ulama’ mengatakan bahwa pendapat Abi Hanafah adalah pondasi awal berdirinya mahdzab al-Maturidy.

Beliau meriwayatkan risalah-risalah tersebut melaluhi para gurunya seperti Nashiruddin Bin Yahya Al-Balkhy, Abi Nashir Ahmad Bin Abbas dan Ahmad Bin Ishak al-Jurjani, yang semuanya meriwayatkan dari Abi Sulaiman Musa al-Jurjani Murid Muhammad Bin Hasan al-Syaibany dari Abi Hanifah. Maka Nampak jelas alur pemikiran al-Maturidy tersebut, hingga bisa dikatakan bahwa beliau adalah Abi Hanifah kedua setelah Abi Hanifah. Adapun pemetaan yang dilakukan sebagian ulama’ yang mengatakan bahwa beliau dalam sisi Fiqih terpengaruh Abi Hanifah namun dari sisi teologi lebih mendekati Al-Asy’ari atau Hambali, adalah tidak benar. Apalagi hanya mendasari pendapat tadi pada risalah-risalah yang disebut di atas.
Qadiyah-Qadiyah (premis-premis) yang dicetuskan oleh Abu Hanifah juga dapat mewakili pengesahan alur pemikiran pemikiran al-Maturidy: semisal dalam konsep Iman, standart baik dan buruk. Keduanya sepakat bahwa Iman itu tidak bertambah dan tidak bisa berkurang, kebaikan dan kejelekan bisa diketahui dengan akal, dan masih banyak lagi.


Manhaj (Teori) Yang Dipakai al-Maturdy
Bersandar pada akal dalam berfikir merupakan perintah agama, terutama dalam masalah Aqidah dan yang berhubungan dengannya. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang mengingatkan pentingnya hal tersebut bahkan sampai ada sekitar empat puluh Sembilan ayat. Al-Qur’an juga mengecam orang-orang yang tidak mau menggunakan akalnya, sebagaimana dalam surat al-Imran ayat 179. Dari sinilah manhaj al-Maturidy terlahir. Beliau mengatakan bahwa kewajiban ma’rifat pada Allah bisa dicapai dengan akal, sebagaimana yang telah Allah sendiri perintahkan agar kita berfikir tentang cipataanNYA, beliau juga mengatakan bahwa menafikan akal berarti tidak mengindahkan perintah Allah untuk berfikir. Namun walaupun akal punya peran dominan dalam mahzab, beliau tetap akan tunduk terhadap keberadaan Naql (teks) bila antara keduanya saling bertentangan. Beliau berkata Naql dan akal adalah dua sumber dalil yang saling bersinergi. Di sinilah letak perbedaan mahzab beliau dengan Mu’tazilah. Abu Zahrah mengatakan dalam kitabnya Tarikhul Madzahib al-Islamiyah bahwa pemikiran al-Maturidy lebih mendekati pemikiran Mu’tazilah, sama dengan yang dikatakan Imam al-Kautsari “Asya’irah ada diantar Mu’tazilah dan Muhadditsin, sedangakan al-Maturidiyah ada diantara Mu’tazilah dan Asy’irah”. Perkataan ini menepis anggapan bahwa pemikiran beliau sealur dengan pemikiran al-Asy’ary, meski banyak sekali kesamaan qadiyah-qadiyah (premis-premis) yang dicetuskan oleh keduanya.

Antara Al-Matridy, Asy’ari Dan Mu’tazilah
Akal memang terkesan lebih dominan dalam manhaj al-Maturidy, namun sebenarnya ia masih tunduk pada Naql. Berbeda dengan Mu’tazilah yang menafikan Naql ketika keduanya bertentangan, sekaligus tak sama dengan al-Asy’ari yang lebih mengunggulkan Naql walaupun tidak menafikan akal. Perbedaan manhaj ini berimbas pada perbedaan sebagian qadiyah-qadiyah ushuliyah (konsep primer) yang dicetuskan mereka, yang nanti insyaAllah akan penulis sebutkan sebagiannya saja. Ada sebagian ulama’ yang menyebutkan bahwa perbadeaan yang terjadi antara al-Maturdy dan Asy’ari hanya berkisar antara sepuluh masalah.

Ma’rifat Pada Allah
Al-Maturidy mengatakan bahwa kewajban ma’rifat pada Allah bisa dinalar oleh akal, namun beliau tidak mengatakan bahwa wajibnya ma’rifat adalah dengan akal. Karena “wajib” menurut beliau adalah hukum taklifi yang menjadi otoritas sang pencipta(Syare’), senada dengan pendapat Mu’tazilah, hanya mungkin berbeda mengenai pemegang otoritas. Mu’tazilah mengatakan bahwa yang memegang otoritas adalah akal sementara al-Maturidy adalah syare’. Sementara al-Asy’ary mengatakan bahwa Ma’rifat tersebut hanya menjadi otoritas syare’.

Standart Kebaikan Dan Keburukan
Sekte Mu’tazilah mengatakan bahwa standart kebaikan dan keburukan adalah akal. Dikarenakan dalam setiap sesuatu terdapat unsur kebaikan dan kejelekan secara dzaty. Konsekwensi dari pemikaran tersebut mengatakan bahwa Ahli Fathrah(orang yang hidup dalam priode penantian datangnya seorang utusan)kelak akan disiksa atas segala amal baiknya dan diberi pahala atas segala kebaikannya. Senada dengan apa yang diungkapakan al-Maturudy, hanya bedanya beliau tetap akan patuh dengan Naql ketika akal beliau menyalahi ketentuan Naql, konsekwensinya Ahli Fathrah di atas kelak tidak akan disiksa, dan masa depannya murni hak prioritas Allah. Sementara al-Asy’ari mengatakan bahwa yang berhak menilai kebaikan hanya otoritas Syare’. Kebaikan adalah setiap sesuatu yang dilegalkan Syare’, begitu juga kejelekan, bukan yang dilegalkan akal.


Pekerjaan Allah
Al-Asy’ari mengatakan bahwa Allah mengerjakan sesuatu bukan karena dilatar belakangi motivasi atau tujuan, karena Allah adalah dzat yang tidak bisa ditanya akan apa yang ia kerjakan. Berbeda dengan Mu’tazilah yang mengatakan bahwa setiap pekerjaan Allah pasti dilatar belakangi motivasi dan tujuan, karena Allah adalah dzat yang bijaksana, yang mana tidak mungkin menciptakan sesuatu yang tiada guna, karena itu Allah wajib untuk berbuat baik pada manusia. Sama dengan yang dikatakan al-Maturdy, hanya bedanya beliau tidak mewajibkan Allah untuk berbuat baik. Dan masih banyak perbedaan-perbedaan lain yang terjadi antara tiga sekte di atas, seperti masalah Iman, pendosa besar dll.
Dan bila kita mau meneliti setiap pendapat al-Maturdi maka anda akan menemukan banyak keserasian dengan pendapat Imam Abu Hanifah, karena itu beliau pantas menyandang gelar “Abu Hanifah kedua setelah Abi Hanifah”. Wallahu a’lam bi al-Shawab

Referensi:

1. Sa’id Ramadhan al-Buty, Al-Madzahib al-Tauhidiyah
2. Abu Zahrah, Tarihul Madzahib al-Islamiyah
3.Dr. Abudul Fattah al-Magraby, Al-Firaq al-Kalamiyah al-Islamiyah Madkhal wa Dirasah

penulis Santri Sidogiri yang lagi kuliyah di Al-Azhar





Lanjut membaca “PERAN ABI HANAFAH DALAM TEOLOGI AL-MATURIDY”  »»

MENGENANG JASA PARA IBU Nabi SAW

MENGENANG JASA PARA IBU Nabi SAW


Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia
(Hari Ibu)

setiap yang hidup akan mati, setiap yang baru akan layu dan setiap yang sombong akan sirna.
Aku memang akan mati tapi mereka akan selalu mengenangku, karena aku telah meninggalkan kebagusan dan melahirkan kesucian yaitu putarku Muhammad SAW (Siti Aminah)

Itu adalah saudriku, itu adalah ibuku. Dulu tak ada saudari yang harus disayang, dulu tak ada sang ibu yang harus dimuliakan, yang ada hanyalah perempuan, perempuan budak nafsu setiap laki-laki. Akhirnya Muhammad SAW datang membawa ajaran barunya “Islam” yang mengangkat keudukan perempuan, membawa kasih sayang pada mereka, mengajak untuk selalu berbuat baik pada sang ibu. Muhammad putra Aminah, yang disusui Halimah dan dirawat Ummu Aiman, ibu-ibu beliau. Kenanglah mereka, karena mereka berhak dikenang, tanpa mereka kita tak akan menikmati ajaran Islam. “Tampa perempuan kita tak akan pernah bahagia”. Perkataan Mustafa al-Ghalayainy. “Surga ada dibawah telapak kaki ibu” Sabda Nabi. Kenaglah, kenanglah, kenanglah mereka.

Siti Aminah Binti Wahab (ibu kandung Nabi Muhammad SAW)
Hari bahagia bagi kedua orang tua, bagi saudara-saudari dan sanak family yang lain. Itulah yang dirasakan mereka atas perkawinan Sy. Abdullah dengan Siti Aminah, kedua orang tua Nabi Muhammad SAW. Tentunya kebahagiaan itu lebih dirasakan oleh kedua mempelai, karena hari itu adalah momen mereka berdua dan hari mereka berdua.

Dua pasangan yang serasi, cantik dan tampan, dari keturunan bagsawan yang punya kedudukan di masyarakat mereka masing-masing. Siapa yang tidak mengenalnya? Siapa yang tidak mau menghormatinya?, siapa yang tidak bangga dengan kedudukan sepertinya?, siapa yang tidak senang punya kedua orang tua yang sepertinya?. Nabi sendiri pun mengakui hal ini”Aku adalah anak dari seorang perempuan Quraisy yang memakan daging”.

Di malam pertamanya beliau Siti Aminah telah dikejutkan oleh mimpi aneh yang telah menimpanya, beliau seakan-akan melihat sinar yang sangat terang, lembut telah menyinari jagat seakan-akan sinar itu telah memperlihatkan salah satu daerah di Syam. Dalam mimpinya tersebut beliau juga merasa telah dibisiki seseorang”Kamu telah menanggung Gustinya umat”. Keesokan harinya Siti Aminah menceritkan mimpinya tersebut pada sang suami.

Mimpi itu telah mengingatkan Siti Aminah akan perkataan seorang biarawati, Saudâ’ Binti Zahrah al-Kilâbiyah“Sesungguhnya di antara kalian aka ada seorang perempuan yang melahirkan Nadzîr (pemberi peringatan) ”. Kemudian biarawati itu menunjuk Siti Aminah sebagai sasaran dari perkataanya.

Dulu Sy. Abdullah pernah dikejar-kejar putri Nufel Bin Asad al-Qursyiyah, namun dia berhenti mengejarnya, kemudian Abdullah bertanya padanya kenapa dia berhenti mengejarnya. Diapun menjawab”Cahaya yang ada dalam diri kamu sekarang telah pudar dan aku tidak membutuhkan kamu lagi”.

Wajah ceria masih nampak dalam diri Siti Aminah, maklum beliau masih dalam masa bulan madu, selayaknya penganten baru, namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena beliau harus merelakan kepergian suaminya tercinta setelah mereka berdua bersama selama sepuluh hari. Sy. Abdullah pergi meninggalkannya ke Syam bersama rombongan karena ada satu urusan yang harus diselesaikan di sana. Namun kepergian itu tak terlalu menyisakan kepedihan karena beliau yakin suaminya akan kembali lagi kepangkuannya bila urusannya sudah selesai.

Sebulan telah berlalu, beliau kini telah hamil, beliau sangat rindu padanya, beliau sudah tidak sabar menunggu kepulangannya untuk memberitahukan buah hatinya, lama sekali beliau menunggunya. Kini wajah beliau nampak tenang penuh dengan semangat karena hari yang telah ditunggu-tunggu telah tiba yaitu hari kedatangan suaminya. Beliau kini duduk dalam rumah menunggu kedatangan suami dan budaknya, Ummu Aiman dengan hati berdebar-debar, tiba-tiba ayahnya ditemani Abdul Mutahâlib datang menghampirinya meminta beliau sabar dan berdo’a karena suami beliau tidak bisa ikut pulang besama rombongan dikarenakan penyakit yang telah menimpanya. Sungguh beliau sangat terkejut mendengar kabar itu, namun dia mencoba bersabar meyakinkan dirinya bahwa suaminya akan sembuh dan pulang untuk menemuinya kembali.

Setelah beberapa hari kemudian beliau dikabari kalau suaminya telah meninggal dan dikuburkan di Yatsrib. Tak ubahnya yang lain beliau sangat besedih telah kehilangan suami tercinta di masa-masa beliau masih membutuhkannya untuk bersenang-senang bersamanya, menimang-nimang anaknya nanti ketika telah lahir. Kini beliau tidak dapat melihat suaminya lagi, tidak bisa tersenyum untuknya kembali, sungguh beliau sangat bersedih.

Kini Muhammad SAW telah lahir sebagia anak yatim, di waktu sahur, hari Senin tanggal dua belas Rabi’ul Awal dan tahun Gajah. Waktu itu Siti Aminah hanya sendirian, tak ada dukun bayi atau bidan yang merawat bayinya dan tak ada perempuan lain disekelilingnya, namun Muhammad kecil nampak bersih, segar penuh dengan cahaya.

Kematian sang suami menyimpan luka yang mendalam pada diri Siti Aminah, sehingga beliau nampak kurus dan pucat, ASInya juga habis hingga tidak dapat menyusui Muhammad kecil. Muhammad kecil juga selalu berpaling ketika beliau hendak mau menyusuinya, mungkin karena ASI yang ada dalam diri beliau tidak segar pengaruh dari kesedihannya. Akhirnya beliau mengirimkan Muhammad kecil ke desa untuk disusui di sana. Dua tahun beliau berpisah dengan putranya tersebut demi kesehatannya.

Kini Muhammad kecil telah kembali padanya, dalam didikannya dengan kasih sayangnya. Muhammad tumbuh pesat dan sehat bersamanya hingga berumur enam tahun. Tak terasa waktu telah berlalu sedemikian lama, Kini Siti Aminah merasa bahwa ajal akan menjemputnya, karena itu beliau menghampiri putranya, Muhammad SAW, merangkulnya sambil memendam air matanya, Muhammad pun memanggil-manggilnya heran dengan tingkah ibunya. Tak terasa air matanya mengalir telah membasahi kedua pipinya sambil berkata: setiap yang hidup akan mati, setiap yang baru akan layu dan setiap yang sombong akan sirna. Aku memang akan mati tapi mereka akan selalu mengenangku, karena aku telah meninggalkan kebagusan dan melahirkan kesucian yaitu putaraku Muhammad SAW. Kini beliau telah wafat di umurnya yang tiga puluh empat tahun, meninggalkan tangisan bocah kesayangannya.

Halimatu al-Sa’diyah (yang menyusui Nabi Muhammad SAW)
Musim kemarau, itulah yang melanda daerah (Hawazin) di mana Halimatu al-Sa’diyah tinggal, masyarakat sudah berhenti menanam, sisa tanaman yang lain pun juga sudah habis dimakan, kini mereka sudah tidak bisa berbuat apa-apa selain mengharap belas kasihan dari langit, untuk bercocok tanam kembali, semua perbekalan sudah tidak ada yang tersisa. Itulah keluhan mereka yang di antaranya adalah keluarga Siti Halimatu al-Sa’diyah. Beliau sangat bersedih karena persediaan di rumanya sudah habis, suaminya pun sudah tidak punya sisa uang simpanan, sementara anaknya kehausan menahan dahaga dalam kepanasan, air susu beliau pun sudah gak lancar, akibat kekurangan gizi. Akhirnya sebagian mesyarakat punya inisiatif untuk merantau ke Makkah, menawarkan jasa penyusuan bayi.

Tepatnya Hari ke delapan dari kelahiran Rasulullah mereka berangkat ke Makkah, sekitar ada sepuluh orang perempuan, sebagian dari mereka ada yang ditemani suaminya, untuk menawarkan jasa penyusuan bayi kepada warga masyarakat Makkah . Mereka semua dari Bani Sa’ad Bin Bakar. Tentunya mereka mau menyusui ketika ada timbal balik yang bisa dimanfaatkan mereka, baik berbentuk uang atau makanan. Karena itu mereka tidak ada yang mau menyusui Nabi SAW, karena mereka menganggap beliau adalah anak yatim yang telah kehilangan orang yang bisa menafkahinya. Tentunya mereka tidak akan mendapatkan apa-apa dengan menyusuinya.

Di antara sepuluh dari perempuan tersebut ada Halimatu al-Sa’diyah. Beliau ditemani suaminya, Haris dan anaknya Abdullah. Di sepanjang pencariannya beliau tidak mendapatkan satu pun dari masyarakat Makkah yang mau menyusui anaknya, hanya ada satu yaitu anak yatim, Muhammad SAW. Tentunya beliau tidak akan mendapatkan upah apapun dari keluarganya. Kemudia suami beliau mengajaknya kembali ke desa dengan tangan hampa, namun beliau tidak menuruti permintaannya, beliau tidak mau pulang sebelum dapat menyusui salah satu bayi dari masyarakat Makkah. Akhirnya Muhammad lah yang jadi sasaran beliau dan suaminya pun menyetujuinya dengan berjuta harapan”Susuilah Muhammad, itu tidak akan membahayakanmu, bahkan mungkin kamu bisa dapat barokah dengan munyusuinya”.

Diceritakan bahwa sebelumnya Nabi Muhammad pernah disusui Suwaibah, budaknya Abu Lahab, yaitu di hari kedua dari kelahiran beliau. Konon katanya Siti Aminah tidak dapat menyusui Nabi, dikarenakan beliau selalu berpaling bila hendak disusui olehnya. Ini berlangsung selama dua hari, tentunya Aminah merasa hawatir akan keadaan bayinya, akan kesehatannya. Di malam hari yang kedua Aminah nampak sedih melihat bayinya beliau memandanginya dengan penuh kasih, dengan penuh sayang. Ada yang aneh akan diri si bayi, dia nampak segar dan sehat memandang ke langit nampak seperti orang yang lagi bermunajat kepada tuhannya, Aminah pun menanngisinya atas dasar sayang dan iba, beliau berfikir akan kehidupannya. Mungkinkah bayi tersebut akan bertahan hidup selama dua hari tanpa menyicipi sedikitpun makanan?.

Ke esokan harinya Suwaibah mendatangi Siti Aminah, mengambil bayi yang ada dalam pangkuannya, kemudian menyusuinya. Puji syukur Aminah lantunkan karena Muhammad kecil mau menyusu padanya. Beliau bahagia sekali dan harapannya pun tumbuh kembali. Siti Suwaibah ini katanya juga pernah menyusui Sy. Hamzah, karena itu Nabi adalah saudara tunggal susu dengannya dari Suwaibah budak Abu Lahab.

Kini Muhammad kecil dalam bimbingan Siti Halimah, beliau pun sangat mencintainya tanpa membedakan dengan putranya sendiri, Abdullah, beliau bahagia dapat merawatnya, dan menyusuinya, karena beliau merasa ada keberkahan yang ditimbulkan dari dirinya SAW.

Ada cerita aneh waktu kepulangan beliau Halimah dari Makkah membawa Nabi, Himar yang beliau tunggangi tidak seperti waktu beliau berangkat, hewan itu nampak segar kuat dan semangat, hingga menyebabkan keheranan pada perempuan-perempuan lain yang bersamanya “Hai Halimah benarkah itu Himar yang dulu kamu tunggangi waktu kita berangkat?”, begitulah mereka bertanya pada beliau keheranan. “Ia itu Himarku, Himarku”, beliau menjawabnya. “Aneh, sungguh aneh”. Mereka menimpalinya kembali.

Rasa sayang tersebut membawa Halimah sulit untuk melepas Muhammad SAW kembali pada ibunya, itu juga dirasakan oleh suaminya, namun biar bagaimana pun Muhammad bukanlah anaknya, harus dikembalikan pada orang tuanya. Suatu ketika beliau pergi ke Makkah untuk megantarkan Muhammad kecil ke ibunya, sesampainya di sana beliau merasa sulit sekali untuk melepasnya, beliau belum siap berpisah dengannya dan meninggalkannya. Akhirnya beliau menyampaikan perasaannya tersebut pada Siti Aminah. Puji syukur bagi Halimah karena beliau dapat membawa Muhammad SAW kembali ke rumahnya, Muhammad yang memberi berkah, suaminya pun sangat berbahagia sekali.

Sebulan setelah itu Halimah mendatangi Aminah kembali, untuk mengantarkan Muhammad kepadanya. Sungguh Aminah sangat terkejut, karena beliau tahu kalausanya Halimah sangat mencintai Muhammad, sangat menyayanginya. Akhirnya Aminah menanyainya”Aku tahu kau sangat mencintai Muhammad, anakku, kamu ingin dia selalu besamamu, tapi kenapa sekarang kau membawanya kemari?”. Beliau pun menjawab”Pada suatu ketika Muhammad bermain-main bersama saudaranya (Abdullah) di suatu tempat di sekitar kandang kambing, tiba-tiba Abdullah mendatangiku, dia menceritakan bahwasanya ada dua laki-laki berbaju putih telah menghampiri Muhammad memegangnya kemudian membaringkannya, kemudian dua laki-laki tersebut membedah perutnya sambil memukulinya. Sungguh aku sama suamiku sangat terkejut sekali, akhirnya kami keluar menghampiri Muhammad SAW, kami lihat dia berdiri sambil merundukkan kepalanya, kami pun akhirnya menghampirinya, merangkulnya, menanyainya, hawatir akan apa yang menimpanya, beliau SAW berkata : Tadi ada dua laki-laki datang menghampiriku, memegangku dan menidurkan aku, kemudian membelah perutku dan mengambil sesuatu di dalamnya entah apa aku gak tahu. Akhirnya kami membawanya ke rumah. Sungguh kejadian tersebut membawa kehawatiran pada aku, karena itu suamiku menyuruhku mengembalikannya kepangkuanmu karena hawatir ada sesuatu yang menimpanya. “Apakah kamu takut dia diganggu oleh syetan” Aminah menyanyainya, meyakinkan diri Halimah kalau Mhammad SAW tidak akan kenapa-napa. “Ia”, Halimah menjawab. “Hai Halimah kamu tahu enggak kalau syetan gak mungkin dapat mengganggunya,? Tahukah kamu tentang kejadian yang pernah menimpanya sebelum aku melahirkannya dan ketika dia lahir?”. Beliau, Aminah meyakinkannya. “Aku gak tahu, mau tau dari mana?”, Halimah menimpalinya. Akhirnya Aminah menceritakan kejadian-kejadian aneh waktu itu. “Suatu ketika aku pernah bermimpi ada cahaya bersinar terang sampai ke bumi di daerah Syam. Ketika aku hamil, kurasakan keringanan membawanya, aku tak merasa tersiksa mengandungnya, ketika dia lahir dia meletakkan tangannya di bumi dan mengangkat kepalanya di langit”. Semuanya tak dapat meyakinkan Siti Halimah, kecintaannya pada Muhammad lebih membawa kehawatiran akan dirinya, akhirnya dia memutuskan untuk mengamblikannya kepangkuan Aminah seraya berkata : Kini bayi Muhammad sudah ada di hadapanmu, ambillah dan rawatlah dengan baik.

Akhirnya Aminah mengambil Muhammad dari pangkuan Halimah, memegangnya erat-erat memeluknya, karena rindu yang mendalam, dua tahun beliau berpisah darinya. Sementara Halimah harus rela berpisah dengannya, meninggalkannya, air mata pun meleleh membasai pipinya, karena perpisahan yang sebentar lagi akan menimpanya dengan anak kesayangannya. Pulanglah belaiu ke Hawazin daerah di mana dia tinggal.

Ummu Aiman (ibu setelah ibuku)
Ummu Aiman adalah seorang budak dari Sy. Abdullah, ayah Nabi Muhammad yang dimerdekakan oleh beliau setelah perkawinannya dengan Siti Khadijah, sebagai balasan atas kebaikannya, merawat beliau ketika kecil.

Diceritakan bahwa Ummu Aimanlah yang merawat beliau ketika beliau lahir sampai besar, karena itu beliau menjulukinya sebagai”Ibu setelah ibuku”. Beliau memanggilnya”Ibu (Ummâh)”. Nabi Muhammad sangat menyayanginya dan sering bergurau dengannya.

Diceritakan dari Ummu Aiman bahwa beliau pernah tidur dirumahnya di pertengahan malam beliau terbangun kemudian kencing dalam satu wadah, akhirnya Ummu Aiman terbangun karena haus meminum air kencing Nabi. Keesokan harinya Nabi datang menghampirinya bertanya padanya”Hai Ummu Aiman apakah kau buang air yang ada dalam wadah di sana”. “Demi tuhan yang telah mengutusmu, aku telah meminumnya”, Ummu Aiman menjawab pertanyaan beliau. Kemudian Rasulullah ketawa sambil berkata: Ibu, kamu tak akan pernah haus selamanya.

Ummu Aiman juga termasuk salah satu orang yang langsung menerima ajakan Nabi, dia orang pertama yang hijrah ke Habasyah dan Madinah, hingga beliau harus menanggung beban berat siksaan orang-orang musyrik pada saat itu. Puji syukur pada Allah yang telah menguatkan imannya sehingga dia bisa mempertahankan agama dan keimanannya.

Ada cerita aneh di masa keberangkatan beliau Ummu Aiman hijarah ke Madinah, waktu itu dia puasa tanpa membawa bekal untuk persiapan buka, di tengah perjalanan beliau merasa kehausan di karenakan panas terik matahari, ketika udah hampir mau magrib beliau melihat Timba yang di dalamnya terdapat minuman berwarna putih susu, kemudian beliau mengambil dan meminumnya. Beliau berkata : setelah kejadian itu aku tidak pernah merasakan haus, aku sering berjalan mengelilingi sinar Matahari hanya untuk merasakan haus tapi aku tak pernah merasakannya.

Beliau punya tempat yang istimewa di sisi Nabi, karena beliau telah dijadikan sebagai salah satu dari keluarga Nabi SAW. Rasulullah pernah berkata : perempuan ini (Ummu Aiman) adalah salah satu keluargaku (Ahli Baiti ), beliau juga telah menjanjikan Sorga padanya”Barang siapa yang merasa senang untuk kawin dengan ahli Sorga maka kawinilah Ummu Aiman” itulah perkataan beliau. Karena itu Zaid Bin Harits cepat-cepat melamarnya.

Ada keistimewaan yang terdapat pada diri Ummu Aiman, yaitu setiap yang dikatakan oleh beliau selalu jadi kenyataan. Pada suatu ketika di waktu perang Hunain beliau pernah mendo’akan tentara Islam”Semuaga kalian teguh pendirian”, kemudian Rasulullah berkata : Hai Ummu Aiman diamlah kamu, karena setiap perkataanmu bisa menjadi kenyataan.

Diceritakan bahwa Abu Bakar pernah mengajak Sy. Umar pergi kerumah Ummu Aiman untuk menyabar-nyabarinya akan meninggalnya Nabi Muhammad, tentunya Ummu Aiman merasakan kesedihan yang amat mendalam di banding yang lain, karena beliau orang terdekat Nabi Muhammad, orang yang merawat beliau ketika kecil. Sesampainya di sana Abu Bakar dan Umar mendapatinya dalam keadaan menangis, kemudian keduanya bertanya”Hai Ummu Aiman, kenapa kau menangis” beliau menjawab”Aku menangis bukan karena kepergian beliau, namun karena aku tidak akan mendapati wahyu turun kembali”. Akhirnya Abu Bakar dan Umar turut nangis mengiringi tangisannya, kagum akan sikap dan jawabannya. Beliau juga pernah menangisi kematian Sy. Umar. Beliau meniggal di masa kekhalfahan Utsman Bin Affan.

Rahmat terhadap Ummu Aiman yang telah merawat Nabi dari kecil, semuga beliau mendapatkan tempat yang layak di hadapan Allah ibu dari ibu, dan semuga mereka semua para ibu beliau mendapatkan rahmat dan kedudukan mulia di sisiNya. Amin.



Selamat mengenang hari ibu beliau Muhammad SAW









Lanjut membaca “MENGENANG JASA PARA IBU Nabi SAW”  »»