Rabu, 25 November 2009

PERAN ABI HANAFAH DALAM TEOLOGI AL-MATURIDY

PERAN ABI HANAFAH DALAM TEOLOGI AL-MATURIDY

Al-Maturidiyah adalah salah satu sekte islam yang didirikan oleh Muhammad Bin Muhammad Bin Mahmud yang masyhur dengan panggilan Abu Manshur al-Maturidi. Dinisbatkan pada tempat kelahirannya Maturid, sebuah kawasan di Samarkand. Sekte ini ditengarai sebagai kelompok mayoritas, karena jumlahnya lebih banyak dibanding komunitas sekte lain. Abu Mu’in al-Nasafy menyebutkan bahwa mahzhab al-Maturidi membentang sepanjang Bukhara sampai ke Turki, beliau juga menyebutkan, bahwa mahzab al-Maturidi banyak digandrungi oleh para sufi. Bahkan salah satu ulama’ kontemporer, Ahmad Abduh, membangun pemikiran barunya berdasarkan mahdzab al-Maturidi. Mark Donal mengatakan: “Seorang alim (M. Abduh) yang mengaku sebagai pengikut Asy’ariyah itu, sebenarnya bermahzab Maturidiyah”. Perkataan Mark Donal tersebut diamini oleh para ulama’ Mesir setelah mereka membandingkan antara pendapat Muhammad Abduh dan al-Maturidi tersebut.
Sekte ini juga disebut sekte Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, karena pemikirannya yang moderat dan lebih mendekati manhaj ulama’ Salaf. Oleh karena itu bila kata Ahlu Sunnah Wal Jama’ah disebut, maka yang dimaksud adalah Asy’ariyah atau al-Maturidiyah.

Profil Pendiri Madzhab Al-Maturidy
Beliau adalah Muhammad Bin Muhammad Bin Mahmud yang terkenal dengan sebutan Abu Manshur al-Maturidi. Beliau lahir di Maturid, salah satu daerah Samarkand-Iran. Adapun mengenai tanggal atau tahun kelahiran beliau, belum ada kejelasan dari pakar sejarah. Tapi tampaknya tokoh ini lahir sekitar pertengahan abad ke tiga, semasa dengan Abu Hasan al-Asy’ari, dimana sekte Mu’tazilah saat itu sedang mendapat perlakuan tidak baik dari masyarakat setempat sebagai balasan ketidak sewenang-wenangan mereka terhadap para ulama’ hadis dan fikih dimasa sebelumnya.

Beliau memperdalam ilmu fiqih imam Hanafi dan Ilmu kalam pada imam Nashiruddin Bin Yahya al-Balkhy yang wafat pada tahun 268 H. Sementara al-Maturidi sendiri wafat pada tahun 333.
Beliau dilahirkan di lingkungan akademisi yang semarak dengan aktivitas-aktivitas keilmuan, seperti perdebatan seputar Fiqih dan Usul Fiqih yang sedang hangat antara Mahzab Syafi’ie versus mahzab Hanafi. Disana juga terdapat perdebatan seputar Ilmu Kalam, akibat ketegangan yang terjadi antara pakar-pakar Fiqih-Hadist dan Mu’tazilah. Bahkan diceritakan bahwa kemajuan daerah itu bukan karena ekonomi atau kekuatan militernya tetapi karena prestasi keilmuannya, yang diprakarsai oleh para pemikir-pemikir ulung, termasuk beliau sendiri. Konon diceritakan bahwa beliau sering menghadiri perdebatan di Bashrah seputar ilmu kalam, bahkan diceritakan sampai sebanyak dua puluh kali. Dalam Fiqih, beliau bermahzab Hanafi yang kemudian kelak banyak mempengaruhi alur pemikirannya, terutama dalam disiplin ilmu kalam.

Alur Pemikiran Abi Manshur al-Maturidy
Islam telah memasuki negeri Khurasan dan Persia dan menguasai semua kawasan Iraq. Beberapa pembesar negeri seribu satu malam tersebut banyak yang tertangkap, dan kemudian dijadikan budak. Di antara mereka ada yang bernama Zuthai, yang berasal dari Persia kemudian beliau dimerdekakan dan mendapat hidayah untuk memeluk Agama Islam. Beliau pernah bertemu dengan Imam Ali RA, bahkan berkumpul cukup lama dengan Imam Ali. Di antara keduanya terdapat ikatan persaudaraan yang kuat, terbukti dengan hadiah yang pernah diberikan Imam Ali pada beliau. Zuthai kemudian mempunyai seorang anak bernama Tsabit, anaknya tersebut juga dekat dengan Imam Ali sama seperti ayahnya, bahkan Imam Ali pernah mendoakan Tsabit agar semua keturunannya mendapat berkah dari Allah. Maka lahirlah Nu’man putra Tsabit.

Nu’man adalah orang Faqih di masanya, sampai beliau mendapat gelar dari para ulama’ di masanya sebagai “Faqihul Islam”. Imam Syafi’ie berkata “Semua manusia dalam Fiqh berhutang budi pada Imam Abi Hanifah”. Beliau lebih terkenal dengan Abi Hanifah, sebagai Alam Kuniyah (nama panggilan) beliau. Beliau dilahirkan tahun 80 H dan meninggal tahun 150 H, tepat dengan tahun kelahiran Imam Syafi’ie. Irak, tempat di mana beliau dilahirkan merupakan pusat peradaban semua agama. Di sana juga menjamur sekte-sekte islam, seperti Khawarij, Syi’ah dll. Kota ini sempat disinggahi beberapa sahabat, semisal Imam Ali, Abdullah Bin Mas’ud, meski Imam Abu Hanifah sendiri tidak menututi mereka, tapi beliau sempat bertemu Imam Sufyan al-Tsauri. Oleh karena itu banyak kalangan yang menduga bahwa beliau termasuk Tabi’in.

Mengenai Ilmu Kalam, dalam Islam sendiri terpecah menjadi dua kelompok besar: ada yang sangat antusias dan mendukung, ada pula yang sangat membenci bahkan antipati, karena diasumsikan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Bahkan Abi Hanifah sendiri sempat bersikap mendua pada Ilmu Kalam. Pertama: Diawal-awal menuntut ilmu, beliau mempelajari ilmu kalam, hingga mahir membidanginya. Beliau juga banyak berdialog dengan sekte-sekte islam yang tersebar di masanya, seperti Khawarij Mu’tazilah dan Syi’ah. Beliau pernah berkata: “Semoga Allah membunuh Shafwan Bin Jahm yang telah menafikan sifat Allah, dan membalas Muqatil Bin Sulaiman karena menetapkan sifat Allah, sampai pada batas tajsim”. Perkataan ini menjadi bukti akan besarnya minat beliau pada ilmu kalam. Kedua: Beliau sangat menentang kajian Ilmu kalam, bahkan sampai melarang pengikutnya untuk mempelajari ilmu Kalam. Seperti terekam jelas dalam ungkapannya:
“Aku (sempat) menganggap Ilmu Kalam sebagai ilmu yang paling utama, kemudian aku berfikir dan merenung, dan aku berkata bahwa orang-orang dahulu dari para Sahabat dan Tabi’in lebih tahu dan paham dari pada aku, tapi mereka tidak bertentangan juga tidak berdebat, bahkan tidak mau berbaur dengan debator, mereka hanya menyibukkan diri dengan belajar dan mengajar. Setelah aku tahu ihwal mereka, maka aku katakan bahwa aku akan meninggalkan perdebatan dan kembali mengikuti mereka, ulama’ salaf, mengikuti semua tuntunannya. Dan sekarang aku berpandangan bahwa orang yang berdebat seputar ilmu kalam bukan termasuk dari bagian orang-orang terdahulu dan tidak mengikuti thariqah (metode) ulama’ dahulu. Aku melihat hati para ahli debat itu keras, tidak perduli apakah mereka telah menyalahi al-Qur’an, Sunnah, dan tidak termasuk orang yang takwa”.

Ada banyak risalah-risalah kecil yang telah dinisbatkan para ulama’ sebagai karangan Abi Hanifah dalam maudu’ (yang bertemakan) Ilmu Kalam, seperti Fiqhul Absath, Fiqhul Akbar Al-Alim Wal Muta’allim dan Risalah beliau pada al-Batta. Imam Ibnu Nadzim memastikan bahwa ada empat kitab yang disepakati sebagai karangan Abi Hanifah: Fiqhul Akbar, Al-Alim Wal Muta’allim, Risalah beliau pada Al-Batta dan Al-Raddu ala al-Qadariyah.

Al-Fiqhul Akbar & Absath
Kitab ini sangat diminati kalangan akademisi setelah beliau, kitab ini juga diriwayatkan banyak orang: diantaranya adalah Hammad anak Abi Hanafah sendiri, dan sempat disyarahi oleh Ali al-Qary. Kitab ini juga diriwayatkan oleh Abi Muthi’ al-Balkhy yang terkenal dengan Fiqhul Absath, kemudian disyarahi oleh Abu al-Laits al-Samarqandy. Syarah-syarah kitab Fiqhhul Absath ini ada yang dinisbatakan pada beliau Abi Hanifah, tapi tidak dibenarkan. Terkait dengan penisbatan kitab ini pada Abi hanifah Abu Zahrah berkata: “Fiqhul Akbar ini perlu diteliti ulang bila mau dinisbatakan pada Abi Hanifah”. Bahkan orang yang sangat fanatik sekalipun menyangsikan apakah kitab diatas termasuk karya beliau.

Risalah-risalah di atas walaupun ada sebagian yang masih disangsikan penisbatannya pada Abi Hanifah setidaknya menjadi bukti bahwa beliau pernah sibuk mempelajari Ilmu Kalam. Dan ternyata risalah-risalah ini telah banyak mempengaruhi pemikiran Abi Manshur al-Maturidy, bahkan sebagian ulama’ mengatakan bahwa pendapat Abi Hanafah adalah pondasi awal berdirinya mahdzab al-Maturidy.

Beliau meriwayatkan risalah-risalah tersebut melaluhi para gurunya seperti Nashiruddin Bin Yahya Al-Balkhy, Abi Nashir Ahmad Bin Abbas dan Ahmad Bin Ishak al-Jurjani, yang semuanya meriwayatkan dari Abi Sulaiman Musa al-Jurjani Murid Muhammad Bin Hasan al-Syaibany dari Abi Hanifah. Maka Nampak jelas alur pemikiran al-Maturidy tersebut, hingga bisa dikatakan bahwa beliau adalah Abi Hanifah kedua setelah Abi Hanifah. Adapun pemetaan yang dilakukan sebagian ulama’ yang mengatakan bahwa beliau dalam sisi Fiqih terpengaruh Abi Hanifah namun dari sisi teologi lebih mendekati Al-Asy’ari atau Hambali, adalah tidak benar. Apalagi hanya mendasari pendapat tadi pada risalah-risalah yang disebut di atas.
Qadiyah-Qadiyah (premis-premis) yang dicetuskan oleh Abu Hanifah juga dapat mewakili pengesahan alur pemikiran pemikiran al-Maturidy: semisal dalam konsep Iman, standart baik dan buruk. Keduanya sepakat bahwa Iman itu tidak bertambah dan tidak bisa berkurang, kebaikan dan kejelekan bisa diketahui dengan akal, dan masih banyak lagi.


Manhaj (Teori) Yang Dipakai al-Maturdy
Bersandar pada akal dalam berfikir merupakan perintah agama, terutama dalam masalah Aqidah dan yang berhubungan dengannya. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang mengingatkan pentingnya hal tersebut bahkan sampai ada sekitar empat puluh Sembilan ayat. Al-Qur’an juga mengecam orang-orang yang tidak mau menggunakan akalnya, sebagaimana dalam surat al-Imran ayat 179. Dari sinilah manhaj al-Maturidy terlahir. Beliau mengatakan bahwa kewajiban ma’rifat pada Allah bisa dicapai dengan akal, sebagaimana yang telah Allah sendiri perintahkan agar kita berfikir tentang cipataanNYA, beliau juga mengatakan bahwa menafikan akal berarti tidak mengindahkan perintah Allah untuk berfikir. Namun walaupun akal punya peran dominan dalam mahzab, beliau tetap akan tunduk terhadap keberadaan Naql (teks) bila antara keduanya saling bertentangan. Beliau berkata Naql dan akal adalah dua sumber dalil yang saling bersinergi. Di sinilah letak perbedaan mahzab beliau dengan Mu’tazilah. Abu Zahrah mengatakan dalam kitabnya Tarikhul Madzahib al-Islamiyah bahwa pemikiran al-Maturidy lebih mendekati pemikiran Mu’tazilah, sama dengan yang dikatakan Imam al-Kautsari “Asya’irah ada diantar Mu’tazilah dan Muhadditsin, sedangakan al-Maturidiyah ada diantara Mu’tazilah dan Asy’irah”. Perkataan ini menepis anggapan bahwa pemikiran beliau sealur dengan pemikiran al-Asy’ary, meski banyak sekali kesamaan qadiyah-qadiyah (premis-premis) yang dicetuskan oleh keduanya.

Antara Al-Matridy, Asy’ari Dan Mu’tazilah
Akal memang terkesan lebih dominan dalam manhaj al-Maturidy, namun sebenarnya ia masih tunduk pada Naql. Berbeda dengan Mu’tazilah yang menafikan Naql ketika keduanya bertentangan, sekaligus tak sama dengan al-Asy’ari yang lebih mengunggulkan Naql walaupun tidak menafikan akal. Perbedaan manhaj ini berimbas pada perbedaan sebagian qadiyah-qadiyah ushuliyah (konsep primer) yang dicetuskan mereka, yang nanti insyaAllah akan penulis sebutkan sebagiannya saja. Ada sebagian ulama’ yang menyebutkan bahwa perbadeaan yang terjadi antara al-Maturdy dan Asy’ari hanya berkisar antara sepuluh masalah.

Ma’rifat Pada Allah
Al-Maturidy mengatakan bahwa kewajban ma’rifat pada Allah bisa dinalar oleh akal, namun beliau tidak mengatakan bahwa wajibnya ma’rifat adalah dengan akal. Karena “wajib” menurut beliau adalah hukum taklifi yang menjadi otoritas sang pencipta(Syare’), senada dengan pendapat Mu’tazilah, hanya mungkin berbeda mengenai pemegang otoritas. Mu’tazilah mengatakan bahwa yang memegang otoritas adalah akal sementara al-Maturidy adalah syare’. Sementara al-Asy’ary mengatakan bahwa Ma’rifat tersebut hanya menjadi otoritas syare’.

Standart Kebaikan Dan Keburukan
Sekte Mu’tazilah mengatakan bahwa standart kebaikan dan keburukan adalah akal. Dikarenakan dalam setiap sesuatu terdapat unsur kebaikan dan kejelekan secara dzaty. Konsekwensi dari pemikaran tersebut mengatakan bahwa Ahli Fathrah(orang yang hidup dalam priode penantian datangnya seorang utusan)kelak akan disiksa atas segala amal baiknya dan diberi pahala atas segala kebaikannya. Senada dengan apa yang diungkapakan al-Maturudy, hanya bedanya beliau tetap akan patuh dengan Naql ketika akal beliau menyalahi ketentuan Naql, konsekwensinya Ahli Fathrah di atas kelak tidak akan disiksa, dan masa depannya murni hak prioritas Allah. Sementara al-Asy’ari mengatakan bahwa yang berhak menilai kebaikan hanya otoritas Syare’. Kebaikan adalah setiap sesuatu yang dilegalkan Syare’, begitu juga kejelekan, bukan yang dilegalkan akal.


Pekerjaan Allah
Al-Asy’ari mengatakan bahwa Allah mengerjakan sesuatu bukan karena dilatar belakangi motivasi atau tujuan, karena Allah adalah dzat yang tidak bisa ditanya akan apa yang ia kerjakan. Berbeda dengan Mu’tazilah yang mengatakan bahwa setiap pekerjaan Allah pasti dilatar belakangi motivasi dan tujuan, karena Allah adalah dzat yang bijaksana, yang mana tidak mungkin menciptakan sesuatu yang tiada guna, karena itu Allah wajib untuk berbuat baik pada manusia. Sama dengan yang dikatakan al-Maturdy, hanya bedanya beliau tidak mewajibkan Allah untuk berbuat baik. Dan masih banyak perbedaan-perbedaan lain yang terjadi antara tiga sekte di atas, seperti masalah Iman, pendosa besar dll.
Dan bila kita mau meneliti setiap pendapat al-Maturdi maka anda akan menemukan banyak keserasian dengan pendapat Imam Abu Hanifah, karena itu beliau pantas menyandang gelar “Abu Hanifah kedua setelah Abi Hanifah”. Wallahu a’lam bi al-Shawab

Referensi:

1. Sa’id Ramadhan al-Buty, Al-Madzahib al-Tauhidiyah
2. Abu Zahrah, Tarihul Madzahib al-Islamiyah
3.Dr. Abudul Fattah al-Magraby, Al-Firaq al-Kalamiyah al-Islamiyah Madkhal wa Dirasah

penulis Santri Sidogiri yang lagi kuliyah di Al-Azhar





Tidak ada komentar:

Posting Komentar