Selasa, 24 Mei 2011

Semestinya Bersatu Bukan Berpecah, Mungkinkah ?


Semestinya Bersatu Bukan Berpecah, Mungkinkah ?

Hadis yang telah berbicara tentang Perpecahan Umat rasanya perlu adanya koreksi ulang, bukan dari segi keabsahannya sebagai hadis, karena ini bukan bidang penulis, akan tetapi, dari segi pemahamannya, agar hadis tersebut tidak lagi menjadi tangga yang digunakan kelompok tertentu untuk sebuah kepentingan tertentu atau untuk menghakimi kelompok lain yang tidak sepemikiran, apalagi kalau untuk menghujatnya serta mengkafirkannya.

Di atas penulis katakan “Hadis Perpecahan Umat” bukan “Perpecahan Umat Islam”, karena Umat Islam adalah satu Umat yang mengesakan satu tuhan, Allah sebagaimana al-Qur’an telah mengatakan, sesungguhnya Islam adalah agama kalian semua, satu agama dan saya adalah tuhan kalian maka, sembahlah. Ayat ini telah melabeli Muslimin sebagai satu umat (ummatan wahidah) walaupun di dalamnya masih ada perpecahan. Mereka adalah satu agama di hadapan agama-agama batil lainnya, satu mahdzab di hadapan mahdzab batil lainnya, serta satu golongan di hadapan golongan sesat lainnya .

Hadis Pertama :Orang Yahudi telah terpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan, orang Nashrani telah terpecah belah menjadi tujuh puluh dua firqah (golongan), sementara Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga puluh golongan.”. Diriwayatkan dari Abi Hurairah.

Hadis ini berbeda dengan hadis Perpecahan Umat lainnya, karena di dalamnya tidak menyebutkan satu golongan yang selamat dari Neraka atau yang kita kenal dengan
Firqah Najiyah, yang kemudian masyhur dengan Ahli Sunnah Wal-Jama’ah, karena itu hadis ini tidaklah menyolok akan sebuah perpecahan atau permusuhan antar Umar Islam. Namun, kita perlu menarik kata “Umatku” untuk memperkuat penegasan bahwa Umat Islam adalah Umat Wahidah. Umat dalam kata “Umatku” yang dimaksud adalah Umatu al-Dakwah (objek dakwah setiap nabi yang diutus. Yang dimaksud di sini adalah objek dakwah Nabi Muhammad). Umatu al-Dakwah tersebut ada dua, ada yang nantinya membenarkan setiap apa yang dibawa Nabi SAW, mereka adalah orang-orang muslim atau Umatu al-Ijabah dan ada juga yang tidak membenarkannya, yakin orang-orang kafir. Al-Qur’an telah mengatakan, seandainya Allah menghendaki niscaya ia akan menjadikan manusia satu umat (beragama Islam, Mukmin) akan tetapi ia akan menyesatkan orang yang ia kehendaki sesat dan menunjukkan orang yang ia kehendaki dapat petunjuk dan kelak kalian benar-benar diminta pertanggung jawaban akan apa-apa yang kalian lakukan.Dari sini penulis punya pemahaman bahwa perpecahan yang dimaksud dalam hadis di atas bukanlah perpecahan yang terjadi dalam deretan Umat Islam (shufufu al-Muslimin) sehingga hadis tersebut tak sah dilayangkan sebagai pelegalan adanya Firaq Islamiyah yang kita kenal sekarang, dalam artian seandainya tak ada hadis di atas maka Firaq Islamiyah itu tak akan pernah dijumpai, bahkan perpecahan itu adalah perpecahan yang terjadi antara Umatu al-Dakwah (ada yang kafir dan yang mukmin).

Hadis Kedua :Sesungguhnya nanti apa yang telah menimpa Bani Isr’ail juga akan menimpa Umatku, mereka telah terpecah belah menjadi tujuh puluh dua millah (golongan) dan Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, lebih satu dari mereka, semuanya akan masuk Neraka kecuali satu millah (golongan), Sahabat bertanya : hai Rasul siapa yang anda maksud dengan satu golongan tersebut ? beliau menjawab : adalah mereka yang mengikutiku dan para Sahabatku.”. diriwayatkan dari Ibnu Umar.

Baru di hadis ini kita akan menjumpai satu golongan yang selamat dari Neraka, yaitu mereka yang mengikuti Rasulullah dan Sahabat beliau atau
jama’ah. Hadis lain yang searti dengan hadis di atas mengatakan, “Sesuangguhnya Bani Isra’il telah terpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan, sementara Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk Neraka kecuali satu yakni Jama’ah.”. diriwayatkan dari Anas.

Dua hadis di ataslah yang menyebabkan perpecahan dalam deretan Umat Islam, serta yang menyebabkan permusuhan, bukan karena ketidak absahannya, namun, karena kesalahan dalam memahaminya. Hadis di atas juga sering dimanfaatkan suatu golongan untuk kepentingan tertentu. Ada beberapa poin kesalahan dalam memahami hadis di atas, yaitu sbb :

Pertama : Kata “Umatku” dipahami sebagai Umatu al-Ijabah. Konsekuensinya perpecahan berarti terjadi dalam barisan Umat Islam, sehingga akhirnya sebagian ulama seperti Syahrastani dalam kitabnya “Milal Wa al-Nihal” dan Abdul Qahir al-baghdadi dalam kitabnya “Al-Farqu Baina al-Firaq” terpancing untuk memperincinya, siapa di antara golongan yang berpecah dari barisan Umat Islam yang tergolong tujuh puluh dua golongan yang masuk Neraka dan satu golongan yang selamat dari Neraka ?, akhirnya setiap golongan mengakui dirinya sebagai golongan yang selamat (Firqah Najiyah) hanya untuk memperebutkan surga dan selamat dari Neraka. Dari sinilah awal perpecahan itu, karena tak mungkin mereka mau dikatakan ahli bid’ah, fasik atau bahkan kafir karena kata “Nereka” adalah kausalitas dari tiga perbuatan tersebut. Maka, benar sekali kalau akhirnya imam Syatibi mengatakan, yang lebih bagus mereka tak usah memerincinya untuk menutupi aib umat. Beliau juga menyebutkan bahwa salah satu faktor perpecahan yang terjadi antar Umat Islam adalah penentuan atau pemerincian golongan tersebut.

Dan sebenarnya apa yang dilakukan beliau berdua ini tak bisa kita terima secara mutlak sebagai sebuah kebenaran, hal ini dikarenakan apa yang beliau berdua lakukan adalah murni hasil ijtihad yang bisa benar dan salah. Dalam hal ini Dr. Muhammad Sayyid Ahmad Musayyar mengatakan, sesungguhnya para ulama yang menyibukkan dirinya untuk memperinci golongan hanya melihat apa yang terjadi di zamannya, mereka lupa bahwa makin hari mahdzab bertambah, pendapat, golongan, serta keyakinan, sementara ijtihad tak akan pernah berhenti, apa yang akan mereka katakana setelah dua ribu tahun atau tiga ribu tahun ? . maka, seandainya beliau berdua hidup di zaman sekarang maka mestinya beliau berdua akan mengoreksi kembali apa yang dikatakannya.

Kedua : kalimat “Tujuh Puluh Tiga” dipahami sebagai bilangan (adad). Konsekuensinya adalah apa yang terjadi pada poin pertama, karena itu yang benar kata tersebut tidak dipahami sebagai bilangan sehingga tak perlu diperinci yang dapat menyolok pada sebuah perpecahan. Pemahaman seperti ini banyak dijumpai dalam ayat al-Qur’an, sebagaimana yang al-Qur’an katakan, kamu mintakan ampun mereka atau tidak itu sama saja, apabila kamu mintakan mereka ampun sebanyak tujuh puluh kali maka, Allah tetap tidak akan mengampuni mereka, hal ini dikarenakan mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan Allah tidak akan menunjukkan orang-orang fasik. Ayat ini berbicara bahwa permohonan ampun yang dilakukan oleh Rasulullah tidaklah berguna, berpapun banyaknya, karena mereka yang beliau mintakan ampun telah kufur kepada Allah dan Rasulnya.

Ketiga : kata “Firkah Najiyah” atau “Millah Wahidah” dipahami sebagai golongan tertentu dari barisan orang Islam (Umatu al-Ijabah)yang harus dibenarkan semua pendapatnya, misalnya Wahhabiyah, Asy’ariyah atau yang lain. Konsekuensinya semua golongan sama-sama mau mengakui dirinya sebagai golongan yang benar yang selamat dan Ahli Sunnah Wal Jama’ah serta tertuntut menghujat golongan lain yang tak sealur dengan pemikiran dengan kata-kata kotor, mulai dari bid’ah, sesat, fasik serta kafir. Karena itu, seandainya maksud dari kata di atas adalah satu agama, Agama Islam di hadapan agama-agama batil yang lain maka, hal di atas tidak akan pernah terjadi.

Keempat : kata “Semuanya di Neraka” dipahami adanya kekekalan di Neraka. Pemahaman ini bisa benar ketika yang dimaksud dengan golongan yang selamat (Firqah Najiyah) adalah satu agama, Agama Islam, sementara agama lain selain Islam tidak akan selamat dari Neraka, dan mereka akan kekal di dalamnya. Al-Qur’an telah mengatakan, barangsiapa yang menjadikan selain Islam sebagai agama maka, sesungguhnya agama tersebut tidaklah diterima dan ia kelak di akhirat sebagai orang yang merugi. Dan sebagaimanaya yang dikatakan juga, sesungguhnya orang yang celaka (kafir) maka, mereka akan di Neraka- dan akan kekal di dalamnya. Namun, ketika yang dimaksud dengan golongan yang selamat adalah satu golongan dari barisan Islam maka, perlu adanya peninjauan ulang, hal ini dikarenakan orang mukmin tidaklah kekal di Neraka sebab dosa dan tidak kafir sebab dosa. Imam al-Laqani mengatakan dalam kitabnya “Jauharatu al-Tauhid” sesungguhnya Allah boleh untuk mengampuni dosa selain kafir dan kami tidak mengakfirkan orang mukmin sebab adanya dosa”.

Maka dari itu, perlu rasanya penulis menegaskan kembali bahwa kami Umat Islam adalah satu umat yang harus selalu bergandengan tangan dilihat dari ushul agama yang kita sepakati, mulai dari iman kepada Allah, Rasul dan hari kiamat. Karena itu, perlu sekali kita mengakhiri kemelut perpecahan ini, penghujatan, serta pengkafiran antar sesama. Dan di sini perlu rasanya penulis bertanya “Kenapa mereka musuh Islam paham betul kelemahan kita, Umat Islam, sementara kita tak tau apa tentang mereka ?, hal ini dikarenakan kita sibuk dengan konflik internal sehingga akhirnya kita lupa serangan dari luar”.
Wallahu a’lam bi al-Shâwâb.


by : Ahmad Shanhaji Dumairi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar